Yogyakarta | Pada tahun 1755, Sri Sultan Hamengkubuwono I mendirikan keraton Yogyakarta, tepatnya setelah Kerajaan Mataram Islam terpecah. Perjanjian Gianti yang ditandatangani Belanda, dibawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel pada 13 Februari 1755.
Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta untuk Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Nagari Kasunanan Surakarta diserahkan kepada Pakubuwono III.
Keraton Yogyakarta, sejak awal sudah didekati oleh Pemerintah Belanda untuk memanfaatkan konsep feodalisme yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat. Pemerintah Belanda memanfaatkn hubungan baiknya dengan keraton untuk mendapatkan ketaatan dan penghormatan dari masyarakat tanpa perlu bersusah payah.
Adapun feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
Keraton Yogyakarta sendiri memang cukup terbukan dalam menjalin urusan dengan pihak Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa Diplomasi Kebudayaan antara Keraton Yogyakarta dan pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII.
Pada saat itu, beragam pertunjukan seni seperti wayang wong, tari, penyajian minuman dan beragam jamuan makanan mewah diperuntukkan bagi tamu-tamu Eropa sebagai bentuk penghormatan dan persahabatan.
Menurut catatan sejarah, Belanda telah memberi pengaruh yang cukup signifikan pada Keraton Yogyakarta, termasuk pada bidang musik. Pengaruh ini tampak jelas pada musik prajurit, musik pengiring tarian, dan musik protokoler.

Hubungan birokrasi pun dijalin dengan serius, selain soal budaya. Dalam buku berjudul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, terbitan tahun 2002, hasil terjemahan Hartono Hadikusumo dan Setiyawati Alkhatab dari buku asli berjudul Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792, dikatakan bahwa Keraton Yogyakarta dan Belanda sepakat mengangkat Residen dan Patih untuk menjembatani birokrasi tersebut.
Tugas Residen dan Patih mirip dengan duta besar pada zaman ini. Inilah sebabnya, baik Residen dan Patih, harus menguasai bahasa Jawa dan Belanda.

Pada tahun 2020 lalu, Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima berkunjung ke Keraton Yogyakarta, bernostalgia datangnya Raja Willem Alexander ke Keraton Yogyakarta sekitar 15 tahun yang lalu. Ini menunjukkan hubungan erat masih terjalin baik hingga sekarang antara Keraton Yogyakarta dan Belanda

Jika berlibur ke Yogyakarta, kamu akan menemukan salah satu peninggalan Belanda, yakni Museum Benteng Vredeburg, yang awalnya bernama Benteng Rustenburg.
Pembangunan benteng ini selesai pada tahun 1760, alias hanya terpaut lima tahun dari pembangunan Keraton Yogyakarta. Pihak Belanda membangun benteng ini dengan tujuan mengawasi Keraton Yogyakarta dalam jarak dekat.
Setelah kemerdekaan, Benteng Vredeburg sempat menjadi markas Tentara Keamanan Rakyat, hingga pada 1981 dijadikan cagar budaya.
Sumber. Akurat.co
GIPHY App Key not set. Please check settings