Yogyakarta | Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Nitya Budaya di Keraton Yogyakarta GKR Bendara mengajak masyarakat untuk lebih memahami dan menghargai batik.
Terutama soal penempatan batik, karena menurutnya seringkali masyarakat tidak memperhatikan tingginya makna dan filosofi di baliknya.
Terutama soal penempatan batik yang menurutnya seringkali tidak memperhatikan tingginya makna dan filosofi di baliknya.
“Sebagai sebuah masterpiece art, maka selayaknya juga dijunjung, dihargai, juga diberlakukan seperti masterpiece art lainnya,” ujar GKR Bendara yang merupakan putri bungsu Sri Sultan HB X, saat pembukuan Seminar Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2021 yang disiarkan secara daring, Selasa (28/9/2021).
Ia pun mengingatkan supaya tidak ada lagi batik yang diletakkan sembarangan, misalnya di lantai maupun dekorasi dinding kamar mandi.
“Jadi jangan lagi ada (batik) motif kawung atau parang yang diletakkan di lantai, ataupun menjadi dekorasi dinding kamar mandi, atau tempat-tempat yang tidak layak lainnya,” lanjutnya.
GKR Bendara pun menjelaskan bila batik yang sudah masuk kedalam warisan dunia ini memiliki kekayaan filosofi, sehingga didalam batik dikenal dengan batik larangan atau awisan ndalem.
Dilansir website resmi Keraton Yogyakarta, kratonjogja.id, keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik itu melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya.
“Motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya,” katanya.
GIPHY App Key not set. Please check settings