Jakarta | Perkembangan teknologi digital beberapa tahun terakhir tak hanya membawa kemajuan di berbagai sektor, tetapi juga memunculkan persoalan baru dalam hal hak cipta, terutama di bidang jurnalistik.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, mengatakan persoalan itu muncul manakala media sosial (medsos) mengambil karya jurnalistik orang atau media massa lain tanpa menyebutkan sumbernya.
“Salah satu persoalan yang muncul di era digital ini adalah hak cipta. Jadi orang tidak peduli dengan hak ciptanya dan orang lain mengambil karya orang lain juga tidak memperdulikan hak cipta itu,” ujar Dirjen IKP Kominfo dalam acara Seminar bersama KPI “Perlindungan Hak Cipta Konten Penyiaran di Media Sosial” yang digelar secara luring dan daring dari Denpasar pada Rabu (11/5/2022).
Menurut Dirjen Usman, persoalan mengenai Hak Cipta jurnalistik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 43 tentang Pembatasan Hak Cipta.
Dalam beleid ini, media yang mengutip karya jurnalistik dan menyebutkan sumbernya dianggap tidak melanggar Hak Cipta, sehingga banyak media elektronik utama (mainstream) yang menggunakannya.
“Karena itu di stasiun TV (televisi) sekarang ini kan banyak acara-acara, misalnya mengambil hanya menyebutkan YouTube sebagai sumbernya, tapi tidak menyebutkan itu karya siapa,” katanya.
Di media cetak, masalah Hak Cipta ini dianggap sangat penting karena terkait pemenuhan hak ekonomi pembuatnya, sehingga menjadi konsen selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Dirjen Usman mencontohkan jika media cetak mengutip foto, harus mencantumkan sumber dan menyebutkan nama fotografernya, kendati sudah berlangganan sebelumnya, seperti dari kantor berita Antara atau AFP (Perancis).
“Mestinya ini juga berlaku di dalam penyiaran, kelak harus berlaku di dalam penyiaran,” imbuhnya.
Disisi lain, banyak media mainstream terindikasi berpotensi melakukan pelanggaran Hak Cipta dengan menayangkan konten-konten dari media sosial tanpa menyebutkan nama pembuatnya atau sumbernya.
Padahal, media mainstream seharusnya menjadi pembentuk arus utama isu-isu atau pemberitaan di masyarakat, yang diikutip oleh media sosial.
“Banyak media online ataupun media cetak itu yang mengutip tweet atau kicauannya politisi misalnya begitu saja, tanpa melakukan verifikasi. Ini kan memunculkan kemalasan tersendiri atau disebut juga Instan jurnalisme,” tandasnya.
REGULASI HUKUM
Saat ini pemilik hak cipta di bidang jurnalisme bukan berarti bisa mendapatkan hak ekonomi dari karya yang dihasilkan, malah harus membayar pada platform pengumpul berita dari situs berita lain (conten aggregator) agar bisa muncul di posisi teratas untuk mendapatkan banyak klik.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, mengatakan fenomena itu menunjukkan bahwa hak cipta jurnalisme yang dimiliki justru lebih banyak menguntungkan pihak lain, sehingga regulasi terkait hak penerbit (publisher right) perlu didorong.
“Itu juga harus kita dorong regulasi yang mengoreksi monopoli platform digital misalnya dengan publisher right,” ujar Dirjen IKP Kominfo dalam Seminar bersama KPI “Perlindungan Hak Cipta Konten Penyiaran di Media Sosial” yang digelar secara luring dan daring dari Denpasar pada Rabu (11/5/2022).
Dirjen Usman mencontohkan platform Baca Berita (Babe) dan juga Google milik perusahaan raksasa teknologi Amerika Serikat (AS) yang tidak memproduksi berita, tetapi mendapatkan keuntungan luar bisa dari situs berita pemilik Hak Cipta.
Di Google misalnya, pemilik situs berita harus membayar jumlah tertentu agar bisa mencapatkan SEO nomer satu agar berita yang dibuat berada dalam posisi teratas dalam hasil pencarian.
“Kita kasih barang kita, hak cipta kita, kita bayar pula ke mereka. Ini kan dunia terbalik. Inilah dunia digital, disrupsinya ada disitu,” katanya.
Menurut Dirjen Usman, saat ini dirinya bersama Staff Khusus Menteri Kominfo Ahmad Ramli sedang mengajukan publisher right ke Kementerian Sekretariat Negara agar bisa segera dijadikan regulasi.
“Apakah berbentuk peraturan pemerintah ataukah berbentuk Perpres (Peraturan Presiden) ya nanti kita lihat seperti apa, ini masih berproses,” ungkapnya.
Dia mengajak agar media pemilik Hak Cipta Penerbitan harus mengambil langkah tegas dengan menerapkan berita-berita yang berbayar untuk orang yang mengaksesnya seperti yang dilakukan oleh kompas.id
Selain itu, langkah edukasi juga dinilai perlu dilakukan agar masyarakat bisa memahami pentingnya mengakses berita berbayar di era digital yang serba gratis.
“Substansinya adalah bagaimana kita membangun sebuah ekosistem untuk jurnalisme yang berkualitas melalui regulasi, melalui aturan, supaya ada jurnalisme berkualitas dan sehat secara ekonomi. Karena kalau tidak sehat secara ekonomi, jusnalisme tidak bisa berkualitas, ini saling berhubungan,” pungkasnya. (infopublik)
GIPHY App Key not set. Please check settings