Jakarta | Ada beberapa pergerakan harga komoditas yang memengaruhi kinerja neraca perdagangan pada awal tahun ini
Presiden Rusia Vladimir Putin telah mendeklarasikan perang terhadap Ukraina pada Rabu (23/2/2022). Dalam deklarasi itu, Putin mengatakan, negara tersebut sedang melakukan operasi militer khusus untuk mendemiliterisasi Ukraina.
Pengumuman Putin itu sontak meningkatkan eskalasi di benua biru. Menurut pelbagai laporan media, tak lama setelah pidato Putin, suara ledakan terdengar di sejumlah kota di Ukraina, seperti di Kramatorsk, Kharkiv, Odessa, Mariupol, dan Ibu Kota Ukraina, Kiev.
Serangan Rusia terhadap Ukraina tentu memunculkan reaksi keras dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Dalam siaran persnya, Biden menyebut agresi itu sebagai serangan tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan.
Presiden AS itu pun memberikan ancaman bahwa AS dan sekutunya akan merespons dengan cara yang bersatu dan tegas. Adanya ancaman itu, bisa dipastikan akan memberikan dampak lanjutan berupa meluasnya tensi ketegangan geopolitik di kawasan tersebut.
Nah, di tengah membaranya perbatasan Rusia dan Ukraina, Indonesia bisa memanfaatkan situasi tersebut untuk menggenjot pemasaran sejumlah produknya. Sektor energi, melalui komoditas batu bara dan migas, serta minyak sawit diprediksi menjadi komoditas yang turut menikmati berkah dari terjadinya eskalasi konflik di kawasan tersebut.
Pasalnya, kebutuhan energi terutama untuk pembangkitan listrik negara Eropa biasanya dipenuhi oleh Rusia dengan bahan bakar gasnya. Kini, mereka harus mencari substitusi sumber energinya.
Subtitusi salah satunya adalah menggunakan kembali batu bara dan itu dimiliki Indonesia. Serangan Rusia terhadap Ukraina memang telah mendorong naiknya harga sejumlah komoditas energi. Harga minyak dunia kini sudah menembus USD100 per barel. Harga senilai itu merupakan pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir.
Dilansir dari AFP, Kamis (24/2/2022) harga minyak jenis Brent menyentuh USD100,04 per barel, setelah pengumuman Putin. Sementara itu, minyak jenis WTI menyentuh USD95,54 per barel.
Demikian pula dengan harga acuan batu bara dari pasar ICE Newcastle, Australia. Harga acuan komoditas itu untuk kontrak Maret telah naik 5,5 persen menjadi USD237,15 per ton pada perdagangan Rabu (23/2/2022). Harga itu terjadi kenaikan hingga 18 persen, atau berada di level tertinggi 19 Oktober lalu.
Bagaimana dengan komoditas minyak sawit mentah (CPO)? Harga komoditas itu juga ikut terdongkrak naik di Bursa Malaysia Derivatives. Pada Kamis (24/2/2022), harganya sudah melonjak hingga 5,88 persen menjadi ke level 6.294 ringgit per ton.
Artinya, harganya sudah di kisaran Rp21,58 juta per ton (Kurs 1 ringgit= Rp3.429,86). Harga itu sudah mendekati harga yang tertinggi yang pernah terjadi pada 1980.
Tak dipungkiri, memanasnya situasi di kawasan Eropa itu telah memberikan hal yang positif bagi ekonomi Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2022. Nilainya mencapai USD930 juta.
Seperti disampaikan Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, setidaknya ada beberapa pergerakan harga komoditas yang memengaruhi kinerja neraca perdagangan pada awal tahun ini.
Setianto memang tidak menyebutkan konflik di kawasan Eropa menjadi penyebab pergerakan harga tersebut. Namun, realitasnya konflik itu menyebabkan sejumlah harga komoditas terdorong naik.
“Ada perkembangan harga beberapa komoditas strategis yang memengaruhi kinerja perdagangan,” ujarnya, Selasa (15/2/2022).
Setianto menyebut, dari sisi komoditas minyak dan gas (migas), ada peningkatan harga komoditas minyak mentah Indonesia. Harga ICP (Indonesia Crude Price) pada Januari 2022 sebesar USD85,89 per barel atau naik 17,08 persen secara month to month (mtm). Bila dibandingkan dengan Januari 2021, harga ICP naik 61,54 persen secara yoy.
Selain itu, ada juga beberapa komoditas nonmigas yang meningkat secara bulanan, seperti harganya minyak kernel (CPO) yang naik 17,96 persen secara mtm, harga nikel naik 11,69 persen mtm, dan harga alumunium naik 11,52 persen mtm.
Sebaliknya, ada komoditas nonmigas yang turun harganya, seperti batu bara yang turun 0,81 persen mtm. Turunnya harga komoditas itu terjadi setelah pemerintah melakukan larangan ekspor sehingga menekan harga produk tambang tersebut.
Penerimaan Pajak
Berkah ekonomi dari memanasnya situasi di Ukraina, tidak hanya masalah neraca perdagangan yang mengalami surplus, tetapi juga penerimaan pajak yang ikut terdongkrak. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Dirjen Pajak Suryo Utomo mengkonfirmasinya.
Menurut Menkeu Sri Mulyani, lonjakan harga komoditas dan meningkatnya permintaan global mendorong setoran pajak dari sektor usaha pertambangan pada Januari 2022 melonjak lebih dari dua kali lipat. Pertumbuhan sektor ini merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor usaha lainnya.
“Penerimaan pajak sektor pertambangan pada Januari 2022 melonjak 246,65 persen dibandingkan Januari tahun lalu. Sektor pertambangan sebetulnya sudah tumbuh positif 2,3 persen pada awal tahun lalu, tetapi tahun ini melonjak lebih tinggi lagi,” kata Menteri keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA edisi Februari, Selasa (23/2/2022).
Dalam paparannya, Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan signifikan pada setoran pajak sektor pertambangan bulan lalu didorong oleh permintaan global dan meningkatnya harga komoditas. Kondisi tersebut mendorong peningkatan setoran Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Setoran pajak sektor pertambangan ini menjadi salah satu dari lima sektor usaha dengan kontribusi terbesar pada bulan lalu. “Sektor pertambangan berkontribusi 7,1 persen dari total penerimaan pajak bulan lalu yang mencapai Rp109,11 triliun. Selain sektor pertambangan, sebagian besar setoran pajak dari lapangan usaha lainnya juga sudah tumbuh positif,” ujarnya.
Dari gambaran di atas, terjadinya eskalasi di benua biru itu memang memberikan pengaruh positif bagi neraca dagang Indonesia, terutama naiknya permintaan terhadap sektor pertambangan dan minyak kelapa sawit. Bagi pelaku usaha, naiknya permintaan dan juga diiringi dengan kenaikan harga komoditas tentu memberikan keuntungan yang luar biasa bagi mereka.
Bisa jadi, pelaku usaha di sektor itu akan menggenjot 3ekspor untuk memanfatkan momentum tersebut. Naiknya permintaan dan harga terhadap sejumlah komoditas juga akan memberikan implikasi bagi makro ekonomi nasional, yakni potensi terjadinya inflasi.
Memanasnya tensi geopolitik antara Rusia, Ukraina, dan negara-negara pendukungnya ibarat pisau bermata dua bagi perekonomian Indonesia. Satu sisi bisa memberikan manfaat ekonomi, permintaan batu bara dan CPO naik. Di sisi lain, naiknya permintaan dan terdongkraknya harga juga berpotensi memunculkan inflasi yang tinggi.
Oleh karena itu, situasi yang dilematis ini perlu diwaspasdai implikasi yang muncul ke depannya. Harapannya, pemerintah tetap bisa menjaga stabilitas perekonomian yang sudah cukup solid. Kinerja ekonomi yang sudah positif di awal tahun dan memunculkan optimisme pemulihan ekonomi ke arah yang tepat patut terus dijaga keberlanjutannya.
Sumber indonesia.go.id
GIPHY App Key not set. Please check settings