Jakarta | Kamis (24/2/2022) pagi, tepat sebelum pukul 06.00 waktu setempat, pasukan beruang merah atau Rusia mulai melakukan serangan terhadap negara tetangganya Ukraina. Serangan itu dilakukan setelah keluarnya maklumat operasi militer khusus ke Ukraina Timur dari Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tujuan Putin melakukan serangan terhadap Ukraina adalah melumpuhkan tetangganya yang nakal atau disebut oleh Rusia telah melakukan demiliterisasi. Memanasnya situasi di Benua Biru akibat serangan Rusia ke Ukraina–kini bahkan sudah menusuk hingga Ibu Kota Ukraina, Kiev–sontak langsung mendidihkan harga minyak mentah dunia.
Harga minyak mentah jenis Brent yang menjadi patokan di Eropa langsung menembus USD101,34 per barel, atau melonjak 4,65 persen setelah Rusia mengumumkan agresinya ke Ukraina.
Kini, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April turun ke level USD97,93 per barel. Begitu pun untuk kontrak Mei, harga minyak mentah Brent menjadi USD94,12 per barel.
Adapun harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret turun ke level USD91,59 per barel. Sebelumnya sempat menembus rekor tertinggi USD95,64.
Ketika Rusia memulai invasinya, harga emas hitam itu sempat melampaui level di atas USD100 per barel. Harga itu menjadi yang tertinggi sejak 2014. Tak pelak lonjakan harga minyak mentah memunculkan kekhawatiran potensi inflasi dan menekan prospek pertumbuhan ekonomi.
Pada saat yang sama, Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya atau OPEC+ menolak seruan untuk meningkatkan pasokan minyak mentah lebih cepat. Meski demikian, peluang untuk meraup keuntungan dari harga minyak yang tinggi tentu saja tidak disia-siakan oleh negara-negara penghasil minyak.
Bagaimana dengan Indonesia? Di tengah momentum yang dapat dipastikan menguntungkan sektor hulu, kondisi industri migas berpeluang untuk menggenjot produksinya, setelah sempat terseok-seok untuk memenuhi target produksi yang sudah ditetapkan.
Pemerintah menetapkan lifting minyak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar 703.001 barel per hari, sementara WP&B (work plan and budget) SKK Migas 2022 sebesar 654.047 per hari serta gas sebanyak 5.800 MMscfd.
Bagaimana sebenarnya kinerja sektor migas sebelumnya? Harus diakui, pencapaian target lifting atau produksi siap jual migas berulang kali masih jauh dari target yang tercatat dalam APBN.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), per 30 Desember 2021, realisasi lifting minyak mentah berada pada kisaran 658.393 barel per hari (BOPD), sedangkan lifting gas bumi tercatat 6.661 juta standar kaki kubik per hari (MMScfd).
Realisasi lifting minyak bumi itu lebih rendah dibandingkan dengan target APBN 2021 sebesar 705.000 barel per hari. Di sisi lain, realisasi lifting gas bumi telah melampaui target APBN 2021 sebesar 5.639 MMscfd.
Target 1 Juta Barel
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam berbagai kesempatan selalu menyuarakan optimismenya negara ini mampu mendongkrak produksi migasnya. Pemerintah menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 BSCFD pada 2030.
Strategi yang dilakukan untuk peningkatan produksi dan cadangan migas adalah optimasi produksi lapangan eksisting, transformasi resources to production, mempercepat chemical EOR, serta eksplorasi secara massif untuk penemuan besar. Selain itu, penerapan carbon capture and storage/carbon capture, utilization and storage (CCS/CCUS) untuk lapangan-lapangan migas.
Dalam tataran yang lebih teknis, PT Pertamina (Persero) pun berkomentar berkaitan dengan eskalasi di benua biru tersebut. Seperti disampaikan Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman dalam keterangan persnya, Jumat (25/2/2022), BUMN itu terus memantau perkembangan harga minyak dan gas dunia yang naik tajam.
“Pertamina akan terus memantau perkembangan pasar migas dunia dan melakukan kajian, evaluasi serta berkoordinasi dengan seluruh stakeholder terkait dampak strategisnya, termasuk penetapan harga BBM nonsubsidi, agar tetap terjaga kondisi pasar yang seimbang serta memastikan kemampuan keuangan perusahaan dalam rangka menjamin suplai BBM kepada seluruh masyarakat sampai ke pelosok negeri,” ujarnya.
Menurut dia, Pertamina memonitor kondisi energi global yang berpengaruh pada bisnis perusahaan. Hal itu dilakukan agar dapat memastikan ketahanan energi nasional tetap terjamin, termasuk suplai BBM dan LPG.
Terlepas dari pernyataan juru bicara Pertamina itu, kenaikan harga minyak mentah yang dipicu dengan krisis Ukraina-Rusia bisa jadi momentum bagi investor kembali menggarap potensi lapangan-lapangan migas di Indonesia yang masih terbuka lebar.
Tak dipungkiri, sejumlah lapangan migas yang ada itu masuk kategori lapangan tua. Namun, adanya teknologi enhance oil recovery (EOR) sangat dimungkinkan untuk dieksloprasi dan dieksploitasi. Biaya kini menjadi lebih ekonomis dengan harga minyak mentah yang kini bertengger di level USD100 per barel.
Pemanfaatan teknologi EOR dinilai akan mengubah status unproven dari lapangan migas menjadi proven seperti yang terjadi pada ladang minyak Cepu. Teknologi ini juga memudahkan investor migas untuk melakukan eksplorasi di tingkat yang lebih rumit.
Melalui EOR akan meningkatkan jumlah minyak mentah dari ladang migas mencapai 30 persen hingga 60 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan primary and secondary recovery. Di sisi lain, pemerintah juga tak kurang-kurangnya memberikan kemudahan berupa insentif yang dituangkan dalam beleid tentang kontrak bagi hasil kotor (gross split) sehingga adanya insentif itu menjadi bonus tambahan bagi investor di tengah harga minyak mentah saat ini.
Yang jelas, kini saatnya yang tepat bagi semua pemangku kepentingan di sektor migas untuk mendongkrak lifting migas. Jangan sampai pelaku-pelaku usaha di sektor itu ketinggalan momentum untuk mendulang peluang di segala kesempatan, termasuk di tengah kondisi geopolitik dunia yang makin tak menentu tersebut.
Sumber indonesia.go.id
GIPHY App Key not set. Please check settings